Miris, Kawasan Puncak Dirusak, Hukum Diabaikan, Diduga Cuma Buat Gendutin Rekening
BogorZoneNews – Miris…kelestarian ekosistem dan alam di Kawasan Puncak, Megamendung dan Cisarua Kabupaten Bogor makin tidak terkendali, diduga cuma buat gendutin rekening.
Hal itu, lantaran pengawasan, pengendalian,dan penegakan berbagai payung hukum tentang penataan Kawasan Puncak dan tata ruang, sangat lemah.
Bahkan diduga keras, selain oknum masyarakat yang diduga andil melakukan perambahan tanah negara dan hutan di kawasan konservasi, yang juga daerah tadah hujan tersebut, sejumlah oknum pejabat setempat juga diduga turut andil melanggar dan membiarkan pelanggaran berbagai payung hukum yang diterbitkan pemerintah pusat hingga Pemerintah Kabupaten Bogor.
Lahan perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas, yang disulap menjadi lapangan bola yang diduga komersil.
Tanah Negara Dikomersialisasi
Seperti yang terjadi diantaranya di wilayah Desa Citeko, Kecamatan Cisarua. Lahan PTPN VIII Gunung Mas, yang semula merupakan perkebunan teh, kini telah disulap berubah menjadi area komersial, yang difungsikan sebagai wahana wisata outdoor, berupa area perkemahan, lapangan bola komersil, restoran, jalan yang dihotmix alias diaspal dan sebagainya.
Seperti yang terlihat di area Gayatri Mountain Adventure dan Kampung Ulin Adventure Land & Resto, yang satu lokasi dengan Bromelia Mountview. Di area kedua wahana wisata alam, yang menggunakan tanah negara yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PTPN VIII Gunung Mas, dengan luasan masing-masing 13 dan 7 hektar tersebut, berdiri banyak bangunan dan fasilitas bagi pengunjung atau wisatawan, yang diduga keras tidak dilengkapi perizinan, yang berlaku sesuai ketentuan pemerintah Kabupaten Bogor.
Bahkan, di kedua area wisata alam tersebut diduga telah terjadi perubahan hingga perusakan ekosistem, yang dikhawatirkan mengakibatkan terjadinya bencana, bagi masyarakat sekitar. Lantaran, di tanah negara yang semula perkebunan teh itu, kini telah dibabat, dirambah dan diratakan menggunakan alat berat excavator. Belum lagi bila saat weekend atau hari libur, Gayatri Mountain Adventure dan Kampung Ulin Adventure Land & Resto kerap diserbu wisatawan, yang tentunya berpotensi meningkatnya timbulan limbah, baik limbah manusia mau pun limbah sampah. Apalagi, di kedua area tersebut diduga tidak adanya Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).
Bangunan area glamping, yang diduga tidak memiliki perijinan.
Dampak Lingkungan
Kini dampak yang telah dialami warga Desa Citeko, terutama yang berada di sekitar lokasi kedua area wisata itu, antara lain terjadinya kerawanan bencana longsor bila saat musim penghujan, kerawanan kebakaran hutan, berkurang atau sulitnya ketersediaan air tanah dan kondisi berdebu, seperti saat ini dampak musim kemarau yang panjang.
Bahkan, kini terjadi perubahan suhu udara, yang melampaui baku mutu udara ambien, yang semula Kawasan Puncak, termasuk Desa Citeko berudara sejuk, dengan kisaran suhu pada siang hari 17-21 derajat Celcius, kini mencapai lebih dari 20 hingga 25 derajat Celcius.
“Karena ada temuan baru, kami akan melakukan tindakan sesuai aturan dan tugas pokok dan fungsi kami, untuk kembali melakukan teguran dari satu hingga teguran ketiga, yang selanjutnya akan kami limpahkan kepada pihak Satpol PP kabupaten Bogor, yang berkompeten untuk mengeksekusi pelanggaran atau penegakan peraturan daerah yang berlaku,” jelas Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Penataan Bangunan Wilayah II Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, Agung Tarmedi.
Menurut Agung, sebelumnya saat awal area wisata di Desa Citeko itu dibuka, sejak tahun 2014 lalu, pihaknya telah melakukan peneguran hingga tiga kali.
Lantas telah dilimpahkan ke aparat penegak Peraturan Daerah (Perda), Satpol PP Kabupaten Bogor. Namun hingga kini keberadaan area wisata yang diduga melakukan pelanggaran tersebut tidak tersentuh.
“Ya dulu, saat itu kami sudah melakukan peneguran. Tetapi, sepertinya tidak ada tindakan. Apalagi, dulu area itu belum KSO dengan PTPN VIII Gunung Mas,” ungkapnya.
Gayatri Mountain Adventure
Sementara itu, Kepala Bidang Pertanahan DPKPP Kabupaten Bogor, Eko Mujiarto menjelaskan, kerusakan ekosistem dan lingkungan di Kawasan Puncak, harus segera dikendalikan dan ditanggulangi. Apalagi bila peruntukannya tidak sesuai dengan fungsinya.
“Kawasan Puncak itu, sesuai aturan yang berlaku sebagai Kawasan Hutan Konservasi,Hutan Lindung, dan Hutan Produktif. Artinya, Kawasan Puncak perlu penanganan khusus, dan tidak boleh dirambah atau dibuka sembarangan. Apalagi sampai terjadi perubahan ekosistem bahkan perusakan ekosistem,” jelasnya.
Lantaran itu, Eko berharap, peruntukan Kawasan Puncak dikembalikan kepada fungsinya. Diantaranya sebagai Kawasan Konservasi, Kawasan Hulu Sungai Ciliwung dan daerah resapan air. Sehingga kelestarian Kawasan Puncak tetap terjaga.
“Saat ini kami juga akan melakukan penataan Kawasan Hutan, termasuk di wilayah Puncak. Salah satunya di area wisata Telaga Warna, Puncak,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Bogor, Eka Warto menegaskan, ada banyak payung hukum terkait penataan ruang Kawasan Puncak, baik yang diterbitkan pemerintah pusat hingga Pemerintah Kabupaten Bogor, yang diantaranya bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem kawasan konservasi, hutan lindung, yang berfungsi sebagai daerah resapan air, yang sekaligus untuk mencegah terjadinya musibah bagi masyarakat setempat dan sekitarnya.
Diantaranya, Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur), yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor‑Puncak‑Cianjur. Dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur.
Ada juga, Perpres No. 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
“Selain itu, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 Tahun 2016, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor telah ditetapkan bahwa Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor mempunyai fungsi kawasan lindung,” sebutnya.
Lebih lanjut disebutkan Eka Warto, akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, fungsi utama kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi air dan tanah, sudah tidak dapat menjadi acuan dalam menjamin konservasi air dan tanah, karena kurang berfungsi. Sehingga pemanfaatan ruangnya perlu ditertibkan kembali.
Rawan bencana longsor.
Sanksi Pidana
Hal itu tentunya tidak terlepas atau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Begitu juga dalam Pasal 98 disebutkan,setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
“Karena itu, Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), untuk memastikan, bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program,” sebutnya.
Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
“Selain itu, ada juga Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), memiliki fungsi untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” papar Eka.
Lantaran itu, berkaitan dengan lingkungan hidup dan pemanfaatan ruang, penanggulangan harus dilakukan jika sudah terjadi pencemaran dan/atau kerusakan akibat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan.
Sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan suatu pemanfaatan ruang yang baik harus mengikuti aturan yang sudah diterapkan oleh pemerintah.***
Penulis: Deddy Blue
Editor: Deddy Blue