Pengawasan, Penindakan dan Penegakan Hukum Tidak Optimal, Kawasan Puncak Kian Rusak
BogorZoneNews - Upaya pengawasan, penindakan dan penegakan hukum terkait perambahan dan perusakan ekosistem atau lingkungan di kawasan Puncak tidak optimal.
Akibatnya, beragam bencana diantaranya hingga kesulitan air bersih mengancam masyarakat provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, termasuk Banten.
Padahal sudah jelas, berbagai payung hukum telah diterbitkan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sejak dahulu.
Bahkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Pasal 98 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Namun kenyataanya, perambahan dan perusakan kawasan konservasi, kawasan hutan lindung yang merupakan kawasan hulu sungai Ciliwung semakin masiv dan tak terkendali.
Diduga, hal tersebut terjadi lantaran lemahnya upaya pengawasan, penindakan dan penegakan hukum yang berlaku.
Sehingga wajar saja bila berbagai kalangan dan praktisi lingkungan mengatakan, tindakan pemerintah hanya lips service saja.
Ironisnya lagi, diduga banyak juga oknum-oknum aparatur pemerintah yang turut andil dan melakukan pembiaran terjadinya perambahan dan perusakan ekosistem atau lingkungan di kawasan Puncak.
Area bangunan vila-vila mewah, yang diduga dibangun di atas tanah negara di kawasan konservasi, Puncak. Keberadaannya diduga luput dari pengawasan, penegakan dan penindakan hukum yang berlaku, atau memang menjadi komoditi untuk bikin rekening gendut?
Kebun Beton
Terbukti, yang semula kawasan kebun teh yang dikelola PTPN VIII Gunung Mas, kini berubah menjadi kebun beton alias telah menjadi kawasan bangunan-bangunan vila mewah, termasuk area wisata outdoor.
Begitu juga dengan kawasan konservasi dan hutan lindung, yang kini kondisinya mengalami degradasi dan terkikis. Lantaran berdiri bangunan-bangunan vila mewah, yang lagi-lagi diduga bodong alias tidak mengantongi perijinan yang berlaku.
Belum lagi dampak yang kini telah dirasakan masyarakat di kawasan Puncak. Diantaranya, kesulitan air bersih, karena berkurangnya daerah tangkapan air, akibat pembabatan lahan kebun teh termasuk hutan lindung, yang merupakan lahan milik negara.
Begitu pun, saat ini telah terjadi perubahan temperatur, yang semula kawasan Puncak dikenal sebagai kawasan yang berudara dingin dan sejuk.
Namun saat ini atmosfir udara di kawasan yang sempat menjadi kawasan pariwisata primadona Kabupaten Bogor ini berubah gerah dan panas.
Belum lagi dampak berbagai bencana, diantaranya, bencana longsor, kebakaran hutan, banjir dan bencana lainnya, yang mengancam perlindungan masyarakat di daerah bawahan-nya, yakni wilayah provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, termasuk Banten.
Sehingga, dengan kondisi kawasan Puncak, yang juga merupakan kawasan konservasi nasional yang seharusnya mendapat penanganan khusus, semakin terkikis akibat perambahan dan perusakan ekosistem maupun lingkungan.
Apakah pemerintah akan masiv duduk manis, berpangku tangan dan lips service saja?
Padahal, pemerintah kerap menyapa dan menghimbau masyarakat dengan sebutan"Pejuang Lingkungan Hidup" atau memasang banner atau media- media himbauan termasuk di media sosial harus "Ramah Lingkungan, Jaga Hutan" dan lain sebagainya. ***
Penulis: Deddy Blue
Editor: Deddy Blue