Perambahan Kawasan Puncak Makin Menggila, Bencana Ancam Jawa Barat dan Jakarta
BogorZoneNews – Perambahan hutan dan tanah negara di Kawasan Puncak, Megamendung, dan Cisarua makin menggila. Akibatnya berbagai bencana mengancam masyarakat Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasalnya hingga saat ini di kawasan daerah resapan air atau bagian hulu Sungai Ciliwung tersebut, banyak berdiri bangunan dan proyek-proyek berkedok area wisata, termasuk vila dan rest area Puncak yang diduga keras melanggar berbagai peraturan penataan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopuncur).
Berbagai bencana yang dikhawatirkan akibat perambahan yang makin marak dan masiv tersebut, antara lain bencana longsor, kebakaran hutan, kurang atau sulitnya ketersediaan air bersih, akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem kawasan Puncak.
Selain itu juga terjadinya perubahan atau kerusakan ekositem yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan baku mutu air.
Bahkan Kerja Sama Operasional (KSO) dan over alih garapan perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas, yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dituding berbagai kalangan diduga, sebagai pemicu atau biang kerok, perambahan tanah negara, pembabatan kebun teh dan hutan, termasuk berdirinya bangunan-bangunan tanpa Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Sebab hingga kini, banyak berdiri bangunan dan proyek-proyek berkedok area wisata di wilayah Kecamatan Megamendung dan Cisarua, termasuk vila dan rest area Puncak, yang dijadikan area komersialisasi, untuk menggendutkan rekening para oknum, yang mengabaikan kelestarian ekosistem alam di Kawasan Puncak.
Payung Hukum Kawasan Puncak
Artinya, kondisi yang terjadi di Kawasan Puncak saat ini diduga keras telah melanggar berbagai payung hukum, yang diterbitkan Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Kabupaten Bogor. Antara lain sebagai berikut;
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan pemerintah untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan ekosistem lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
2. Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur), yang menegaskan bahwa kawasan Puncak mempunyai fungsi kawasan lindung dan budi daya. Selain itu, tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, Megamendung, Ciawi, dan Cisarua ditetapkan menjadi kawasan lindung, area yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, telah mengatur peruntukan Kawasan hutan lindung mencapai 2,93 persen di masing-masing daerah yang memiliki hutan lindung.
Namun, menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bogor yang baru, 2016-2036, justru mengurangi luas hutan lindung menjadi hanya 1 persen di tiap daerah yang memiliki hutan lindung. Artinya, beban kawasan Puncak akan kian berat.
Sebelum Perpres No. 54 tahun 2008 diterapkan, Pemerintah Pusat memberlakukan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999, tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur), sebagai kawasan konservasi yang memerlukan penanganan khusus, dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3. Perpres No. 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bogor sebelumnya juga telah menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 Tahun 2016, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, yang telah ditetapkan bahwa Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor mempunyai fungsi kawasan lindung.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Lantas, Pemerintah Kabupaten juga menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Bogor Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Komplek vila-vila mewah di lahan PTPN VIII Gunung Mas, di wilayah Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, yang diduga tidak memiliki alas perijinan.
PTPN VIII Gunung Mas Bantah Tudingan
Bagian Sumber Daya Manusia dan Umum PTPN VIII Gunung Mas, Rifan Budiantoro membantah tudingan dugaan tersebut. Bahkan ditegaskan Rifan, dalam KSO dengan mitranya terdapat klausul, yang mengharuskan pihak penerima KSO mematuhi segala ketentuan yang berlaku, termasuk peraturan yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor.
Selain itu, sebelum KSO diterbitkan, Rifan mengaku juga telah membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Dalam naskah kesepakatan KSO itu, ada klausul pihak mitra harus patuh dengan ketentuan atau regulasi pemerintah termasuk peraturan yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor. Jadi kalau mau membangun di lahan KSO, harus ada izinnya dahulu, sesuai peraturan yang berlaku,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rifan mengungkapkan, saat ini pihak PTPN VIII Gunung Mas telah menerbitkan KSO paling banyak 15 KSO kepada pihak perusahaan maupun perorangan, dengan luasan yang tidak sampai 10 persen, dari total lahan 1.670 hektar yang dikelola PTPN VIII Gunung Mas di wilayah Kabupaten Bogor.
“Tidak besar, dari total lahan yang kita miliki, cuman beberapa persen tidak sampai sepuluh persen dari total lahan PTPN VIII. Itu pun objek yang bisa dioptimalkan, objek-objek yang kurang produktif,” ungkapnya.
Sedangkan terkait tanah milik negara yang dikuasai segelintir oknum, ditegaskannya, pihak Perusahaan telah melakukan upaya hukum untuk menjaga aset milik negara tersebut.
“Upaya-upaya terakhir dari upaya hukum yang dilakukan, laporan pidana termasuk penindakan aset negara oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Jadi objek-objek yang letaknya signifikan mungkin itu akan ditindak lanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena jelas itu merugikan negara,” imbuhnya.
Menurut Rifan, pihaknya berupaya melakukan langkah penyelamatan aset-aset negara termasuk lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang masih produktif untuk dikelola guna memberikan kontribusi yang optimal kepada negara.
PTPN VIII Gunung Mas juga memastikan bahwa di dalam BUMN tersebut tidak terdapat tindakan-tindakan yang mencerminkan adanya kebebasan dalam jual-belikan lahan HGU kawasan Gunung Mas sesuai dengan anggaran dasar perseroan tentang pemindahtanganan aktiva tetap BUMN, serta meminta semua pihak-pihak yang menggunakan lahan perkebunan tanpa izin segera menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN VIII sebagai pemilik yang sah.
“PTPN VIII memperoleh HGU atas tanah Perkebunan Gunung Mas, yang terletak di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 56/HGU/BPN/2004- A-3 tentang Pemberian HGU atas tanah terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat tertanggal 6 September 2004 dan Sertipikat HGU Nomor 266 sampai 300, tanggal 4 Juli 2008,” tuturnya.
Namun, dari total lahan PTPN VIII, sekitar 291 ha diokupasi pihak lain. Karena itu, sebagai pemegang HGU, PTPN VIII berkewajiban untuk menyelesaikan penguasaan/penggarapan masyarakat atas tanah tanpa ijin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Lokasi Perkebunan Gunung Mas sangat strategis, kondisi alamnya yang sejuk dan tanahnya yang subur menjadi daya tarik pemodal untuk berinvestasi dalam bidang pariwisata dan memiliki lahan tersebut. Karena kondisi ini, maka para biyong (makelar) tanah garapan, menjual kepada oknum ‘orang kaya', untuk dibangun vila. Apalagi para biyong mengatakan status tanah merupakan eks atau bekas lahan perkebunan dan sertifikatnya dapat diurus menjadi HGU, bahkan Sertipikat Hak Milik,” paparnya.
Salah satu bangunan pemegang KSO di lahan PTPN VIII Gunung Mas, yang diduga tidak mengantongi perizinan.
Upaya PTPN VIII Gunung Mas
Untuk itu, pihaknya akan melaksanakan pembenahan, penataan dan penyelamatan aset negara, untuk menguasai kembali seluruh lahan perkebunan Gunung Mas yang telah dikuasai pihak lain. Apalagi, pihaknya tidak pernah menerbitkan izin hak garap untuk semua lahan perkebunan Gunung Mas di Kecamatan Megamendung dan Cisarua.
“Sejauh ini, kami telah melakukan inventarisasi dan pendataan terhadap pemakaian lahan-lahan perkebunan tanpa izin, karen penggunaan lahan tanpa izin merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau penadahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No.51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP serta UU Perkebunan,” bebernya.
Lantaran itu, diakuinya PTPN VIII Gunung Mas, saat ini telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Bogor dan pemangku kepentingan lainnya agar bersama-sama turut menertibkan bangunan-bangunan yang berdiri di atas lahan PTPN VIII di Perkebunan Gunung Mas, karena disinyalir tidak mempunyai alas hak, tidak berijin atau tidak sesuai dengan peruntukan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) setempat.
“Kami berharap dikemudian hari tidak ada lagi alih fungsi lahan berupa lahan garapan maupun bangunan-bangunan liar yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) di areal strategis yang menjadi daerah resapan air,” tandasnya. ***
Penulis: Deddy Blue
Editor: Deddy Blue